Pada tahun 1996 UNESCO menetapkan tanggal 8 September sebagai Hari aksara Internasional untuk diperingati seluruh negara anggota dan termasuk Indonesia didalamnya. Peringaan Hari Aksara Internasional pernah diadakan di Indonesia tepatnya pada tanggal 22 September 1994 yang dipusatkan di kota Pontianak dan untuk tahun-tahun berikutnya Indonesia juga menjadi tuan rumah kembali. Namun, yang dibahas dalam artikel ini adalah peringatan pada tahun 1994.
Peringatan ini mengusung misi wajib belajar 9 tahun sebagai suatu terobosan pemerintah dalam mengusir kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Kita yakini bahwa dengan adanya penidikan suatu bangsa akan mampu memahami budayanya sendiri dengan alat sebagaimana proses pendidikan yakni baca-tulis.
Hari Aksara Nasional waktu itu memiliki empat fungsi yakni:
1. Untuk menghilangkan jarak bahasa (language distance), antara anggota masyarakat. Sosiologis bahasa mengenalnya dengan istilah hipotesis miskin bahasa (deficit hypothesis) yakni status sosial warganegara berkorelasi positif dengan tingkat kemampuan berbahasa. Mereka yang berstatus sosial tinggi dicirikan dengan bahasa yang rinci, efektif dan komunikatif. Karena kemampuan berkomunikasilah mereka mendapatkan fasilitas-fasilitas sosial. Dengan Wajib Belajar 9 Tahun harus mampu mengatasi hipotesis ini.
2. Untuk membangun loyalitas positif terhadap bahasa (language loyality). Melek huruf dalam suatu bahasa tidak hanya mampu berbaca tulis dalam bahasa itu, tetapi juga menghargai nilai-nilai intrinsik dari kode bahasa itu. Ada perasaan emosional batin pada pnutur bahasa, yakni berniat mempertahankan bahasa manakala ada ancaman dari luar maupun dari dalam. Loyalitas ini akan tumbuh subur manakala pesan yang disimbolkan lewat bahasa itu sesuai dengan gejolak psikologis bangsa.
3. Untuk mengembangkan individu warga negara yang mampu berkomunikasi secara produktif, sebagai penulis, pembaca dan pelibat komunikasi yang bernalar dari forum yang paling kecil yang berdimensi lokal, regional, nasional, maupun internasional. Pemahaman aksara (aksara sebagai simbol kemajuan budaya dan peradaban manusia) harus disimak sebagai sarana bernegara dalam melibati derap-derap pembangunan secara parsipatif dan kritis. Dengan kata lain pengentasan buta aksara meski disejajarkan dengan pengentasan kemiskinan dan kiprah peningkatan taraf hidup sebagai individu dan taraf peradaban bangsa.
4. Untuk membangun skema kultural bangsa yang berperan sebagai latarbelakang informasi yang mesti dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia sebagai flatform dalam melibati segala aktivitas bernegara. Kebudayaan nasional yang mesti dimiliki sebagai kekayaan kolektif dan akumulatif unsur-unsur batiniah kultural dari setiap warga negara Indonesia. Pendidika berkewajiban membangun flatform ini sebagai pijakan dalam membangun piramid kebudayaan dan peradaban Bhineka Tunggal Ika.
Berikut Peringatan Hari Aksara Internasional pada tahun 2016.
Keputusan Konferensi Tingkat Menteri Negara-Negara Anggota PPB yang diselenggarakan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tanggal 17 November 1965 di Teheran, Iran, menetapkan tanggal 8 September sebagai Hari Aksara Internasional (International Literacy Day).
Tema yang dipilih Indonesia pada peringatan HAI tahun 2016 ini adalah ”Penguatan Literasi dan Vokasi dalam Membangun Ekonomi Berkelanjutan ”. Tema ini diambil sebagai upaya mengingatkan kembali dan memberi inspirasi kepada kita semua tentang kesungguhan usaha untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan keaksaraan sebagai fondasi gerakan pemberdayaan masyarakat, bukan sekadar gerakan pemberantasan tuna aksara semata.
Tema tersebut selaras dengan tema global yang diangkat oleh UNESCO pada tahun ini, yaitu “Reading The Past, Writing The Future” atau “Membaca Masa Lalu, Menulis Masa Depan”.
Tema ini menjadi sebuah isu global karena pada tahun 2015 merupakan akhir dari “UNESCO Decade of Education for Sustainable Development” atau “Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan”. Fase ini merupakan akhir dari Millenium Development Goals (MDG’s), dan dimulainya Sustainable Development Goals (SDG’s). Pesan utama tema tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa keaksaraan bukan hanya sekedar prioritas pendidikan, tetapi investasi yang sangat penting bagi masa depan yang berkesinambungan.
Peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) pertama kali dilakukan pada tahun 1966. Perayaan HAI dilandasi oleh semangat untuk memberantas tuna aksara di seluruh dunia. Karena itu, HAI diperingati oleh setiap negara untuk mengingatkan pentingnya keaksaraan bagi seluruh penduduk di seluruh dunia.
Kampung Literasi dan Desa Vokasi
Indonesia memiliki 74.095 desa (Kompas 16/4/2016) yang tersebar di seluruh nusantara dengan keanekaragaman kekayaan sumber daya alam yang melimpah, baik di sektor pertambangan, pariwisata, pertanian, kehutanan, perkebunan dan lain sebagainya.
Sementara itu, jumlah penduduk miskin yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia hingga bulan September 2014 tercatat sekitar 28 juta orang, atau 10.86 % dari jumlah penduduk Indonesia (BPS 2015). Dari jumlah tersebut, penduduk miskin yang tinggal di perkotaan sekitar 10,34 juta orang, dan yang tinggal di perdesaan sekitar 17,67 juta orang.
Program pengembangan “Kampung Literasi” dan “Desa Vokasi” merupakan langkah strategis Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan, Ditjen PAUD dan Dikmas sebagai wujud implementasi program pendidikan kecakapan hidup dan kewirausahaan dalam spektrum perdesaan dengan pendekatan kawasan, yaitu kawasan perdesaan.
Program “Kampung Literasi” dan “Desa Vokasi” dimaksudkan untuk mengembangkan sumberdaya manusia dan lingkungan yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya dengan memanfaatkan potensi lokal. Melalui program ini diharapkan dapat membentuk kawasan desa yang menjadi sentra beragam vokasi, dan terbentuknya kelompok-kelompok usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya dan kearifan lokal.
Dengan demikian, warga masyarakat dapat belajar dan berlatih menguasai keterampilan yang dapat dimanfaatkan untuk bekerja atau menciptakan lapangan kerja sesuai dengan sumberdaya yang ada di wilayahnya, sehingga taraf hidup masyarakat semakin meningkat.
Agar progam pendidikan kewirausahaan masyarakat terlaksana sesuai harapan, telah disiapkan sejumlah petunjuk teknis penyelenggaraan program kewirausahaan masyarakat yang dapat dijadikan acuan oleh semua pihak yang terkait. Berdasarkan data UNESCO tahun 2014, secara global terdapat 758 juta penduduk dewasa yang tidak dapat membaca, menulis, dan berhitung. Dua pertiga dari mereka adalah perempuan. Sedangkan pada kelompok anak usia 15 sampai 24 tahun, terdapat lebih dari 114 juta anak yang tidak dapat membaca kalimat sederhana meskipun separuh dari mereka pernah bersekolah selama empat tahun.
Selain itu, terdapat 42% atau sekitar 318.360.000 anak-anak dari keluarga miskin dan anak yang berada di wilayah konflik di dunia yang tidak bisa sekolah (out of school) yang akan menjadi "calon" buta-aksarawan baru (Infografik unesco.org). Oleh karena itu, strategi dan metode pelaksanaan pendidikan keaksaraan harus tetap dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi setiap negara.
Di tingkat nasional, selama satu dekade ini, program penuntasan tuna aksara di Indonesia telah menunjukkan hasil yang positif. Jika pada tahun 2005, penduduk tuna aksara mencapai 9,55% atau sekitar 14,89 juta orang, maka pada tahun 2014 telah turun menjadi 3,7% atau sekitar 5,9 juta orang. Capaian tersebut menunjukkan bahwa Indonesia telah berhasil melampaui target Deklarasi Dakkar tentang Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau Education for All (EFA), yaitu pada akhir tahun 2015 Indonesia dapat menurunkan lebih dari separuh penduduk tuna aksara.
Pada akhir tahun 2014, jumlah penduduk tuna aksara di Indonesia yang tergolong masih tinggi terdapat di 11 provinsi, yaitu: (1) Papua sekitar 30,93% atau 615.977 orang; (2) Nusa Tenggara Barat sekitar 10,92% atau 314.435 orang; (3) Sulawesi Barat sekitar 7,96% atau 60.164 orang; (4) Sulawesi Selatan sekitar 7,37% atau 381.329 orang; (5) Nusa Tenggara Barat sekitar 7,21% atau 203.002 orang; (6) Jawa Timur sekitar 5,92% atau 1.481.646 orang; (7) Kalimantan Barat sekitar 5,76% atau 170.038 orang; (8) Bali sekitar 5,33% atau 140.628 orang; (9) Papua Barat sekitar 4,92% atau 26.280 orang; (10) Sulawesi Tenggara sekitar 4,60% atau 65.924 orang, dan Jawa Tengah sekitar 4,54% atau 960.905 orang. Ini menjadi "pekerjaan rumah" bagi pemerintah dan masyarakat.
Selain menuntaskan sisa penduduk tuna aksara di 11 provinsi tersebut, juga terdapat 25 kabupaten yang tergolong tinggi tuna aksaranya, yaitu di atas 50.000 orang yang perlu mendapatkan perhatian khusus.
Dalam rangkaian acara peringatan HAI tahun 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan sejumlah rangkaian kegiatan antara lain “talkshow” dengan nara sumber: Harris Iskandar (Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat), Erman Syamsuddin (Direktur Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan), Ardiansyah L. (Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah), dan Arief Rachman (Ketua Komisi Pendidikan Nasional untuk UNESCO).
Peringatan puncak acara HAI tahun 2016 tingkat nasional dilaksanakan di Palu, Sulawesi Tenggah pada tanggal 20 Oktober 2016. Pada kegiatan tersebut akan diselenggarakan berbagai kegiatan lomba dan pemberian penghargaan. Melalui kegiatan peringatan HAI tahun 2016 ini diharapkan program pendidikan keaksaraan dalam rangka penuntasan tuna aksara dan pemberdayaan masyarakat dapat berjalan dengan baik untuk membangun keadaban dan keunggulan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Sesuai Nawacita
Sesuai dengan semangat Nawacita, atau Sembilan Prioritas program pembangunan pemerintah, pengembangan pendidikan keaksaraan ke depan harus dikembangkan untuk memperkuat kemandirian secara ekonomi. Untuk itu, dikembangkan program Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM) dan Aksara Kewirausahaan sebagai kelanjutan dari Program Keaksaraan Dasar.
Program lanjutan tersebut dimaksudkan untuk melestarikan kemampuan keaksaraan dasar sekaligus memberikan pendidikan kecakapan hidup, baik soft skill berupa sikap dan karakter, maupun hard skill dalam bentuk keterampilan atau vokasional kepada setiap warga belajar atau peserta program pendidikan keaksaraan.
Lewat program lanjutan pasca keaksaraan dasar ini, banyak warga belajar yang akhirnya memiliki keterampilan dan mampu memiliki usaha baik secara pribadi maupun kelompok (Kelompok Belajar Usaha), sehingga hidupnya lebih sejahtera. Saat ini, lembaga penyelenggara program pendidikan keaksaraan seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP), memiliki unit usaha yang dikelola oleh alumni dari warga belajar pendidikan keaksaraan. Melalui program peningkatan keberaksaraan pasca keaksaraan dasar, tujuan dari program pendidikan keaksaraan dalam konteks pembangunan berkelanjutan dapat terlaksana menjangkau sejumlah target pembangunan berkelanjutan tersebut.
Secara ringkas, ke-17 SDGs tersebut adalah sebagai berikut: (1) mengurangi segala bentuk kemiskinan; (2) mengakhiri kelaparan dan mencapai ke tahanan pangan; (3) menjamin kesehatan yang baik dan kesejahteraan inklusif; (4) menjamin pendidikan yang inklusif dan berkualitas; (5) kesetaraan gender; (6) menjamin ketersediaan air bersih dan sanitasi; (7) ketersediaan energi dan terjangkau; (8) pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja yang layak; (9) membangun industri, inovasi dan infrastruktur yang inklusif; (10) mengurangi kesenjangan intra dan antar negara; (11) menjamin kota yang berkelanjutan dan inklusif; (12) menjamin pola konsumsi dan produksi secara bertanggung jawab; (13) memerangi perubahan iklim dan mengurangi dampaknya; (14) melestarikan kehidupan di bawah laut (samudera) secara berkelanjutan; (15) melindungi, mengembalikan keberlangsungan ekosistem darat; (16) mendorong masyarakat yang damai dan inklusif; (17) kemitraan dalam mencapai tujuan. (Eko & Jamhari)
Berikut Peringatan Hari Aksara Internasional pada tahun 2016.
Keputusan Konferensi Tingkat Menteri Negara-Negara Anggota PPB yang diselenggarakan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada tanggal 17 November 1965 di Teheran, Iran, menetapkan tanggal 8 September sebagai Hari Aksara Internasional (International Literacy Day).
Tema yang dipilih Indonesia pada peringatan HAI tahun 2016 ini adalah ”Penguatan Literasi dan Vokasi dalam Membangun Ekonomi Berkelanjutan ”. Tema ini diambil sebagai upaya mengingatkan kembali dan memberi inspirasi kepada kita semua tentang kesungguhan usaha untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan keaksaraan sebagai fondasi gerakan pemberdayaan masyarakat, bukan sekadar gerakan pemberantasan tuna aksara semata.
Tema tersebut selaras dengan tema global yang diangkat oleh UNESCO pada tahun ini, yaitu “Reading The Past, Writing The Future” atau “Membaca Masa Lalu, Menulis Masa Depan”.
Tema ini menjadi sebuah isu global karena pada tahun 2015 merupakan akhir dari “UNESCO Decade of Education for Sustainable Development” atau “Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan”. Fase ini merupakan akhir dari Millenium Development Goals (MDG’s), dan dimulainya Sustainable Development Goals (SDG’s). Pesan utama tema tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa keaksaraan bukan hanya sekedar prioritas pendidikan, tetapi investasi yang sangat penting bagi masa depan yang berkesinambungan.
Peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) pertama kali dilakukan pada tahun 1966. Perayaan HAI dilandasi oleh semangat untuk memberantas tuna aksara di seluruh dunia. Karena itu, HAI diperingati oleh setiap negara untuk mengingatkan pentingnya keaksaraan bagi seluruh penduduk di seluruh dunia.
Kampung Literasi dan Desa Vokasi
Indonesia memiliki 74.095 desa (Kompas 16/4/2016) yang tersebar di seluruh nusantara dengan keanekaragaman kekayaan sumber daya alam yang melimpah, baik di sektor pertambangan, pariwisata, pertanian, kehutanan, perkebunan dan lain sebagainya.
Sementara itu, jumlah penduduk miskin yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia hingga bulan September 2014 tercatat sekitar 28 juta orang, atau 10.86 % dari jumlah penduduk Indonesia (BPS 2015). Dari jumlah tersebut, penduduk miskin yang tinggal di perkotaan sekitar 10,34 juta orang, dan yang tinggal di perdesaan sekitar 17,67 juta orang.
Program pengembangan “Kampung Literasi” dan “Desa Vokasi” merupakan langkah strategis Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan, Ditjen PAUD dan Dikmas sebagai wujud implementasi program pendidikan kecakapan hidup dan kewirausahaan dalam spektrum perdesaan dengan pendekatan kawasan, yaitu kawasan perdesaan.
Program “Kampung Literasi” dan “Desa Vokasi” dimaksudkan untuk mengembangkan sumberdaya manusia dan lingkungan yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya dengan memanfaatkan potensi lokal. Melalui program ini diharapkan dapat membentuk kawasan desa yang menjadi sentra beragam vokasi, dan terbentuknya kelompok-kelompok usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya dan kearifan lokal.
Dengan demikian, warga masyarakat dapat belajar dan berlatih menguasai keterampilan yang dapat dimanfaatkan untuk bekerja atau menciptakan lapangan kerja sesuai dengan sumberdaya yang ada di wilayahnya, sehingga taraf hidup masyarakat semakin meningkat.
Agar progam pendidikan kewirausahaan masyarakat terlaksana sesuai harapan, telah disiapkan sejumlah petunjuk teknis penyelenggaraan program kewirausahaan masyarakat yang dapat dijadikan acuan oleh semua pihak yang terkait. Berdasarkan data UNESCO tahun 2014, secara global terdapat 758 juta penduduk dewasa yang tidak dapat membaca, menulis, dan berhitung. Dua pertiga dari mereka adalah perempuan. Sedangkan pada kelompok anak usia 15 sampai 24 tahun, terdapat lebih dari 114 juta anak yang tidak dapat membaca kalimat sederhana meskipun separuh dari mereka pernah bersekolah selama empat tahun.
Selain itu, terdapat 42% atau sekitar 318.360.000 anak-anak dari keluarga miskin dan anak yang berada di wilayah konflik di dunia yang tidak bisa sekolah (out of school) yang akan menjadi "calon" buta-aksarawan baru (Infografik unesco.org). Oleh karena itu, strategi dan metode pelaksanaan pendidikan keaksaraan harus tetap dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi setiap negara.
Di tingkat nasional, selama satu dekade ini, program penuntasan tuna aksara di Indonesia telah menunjukkan hasil yang positif. Jika pada tahun 2005, penduduk tuna aksara mencapai 9,55% atau sekitar 14,89 juta orang, maka pada tahun 2014 telah turun menjadi 3,7% atau sekitar 5,9 juta orang. Capaian tersebut menunjukkan bahwa Indonesia telah berhasil melampaui target Deklarasi Dakkar tentang Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau Education for All (EFA), yaitu pada akhir tahun 2015 Indonesia dapat menurunkan lebih dari separuh penduduk tuna aksara.
Pada akhir tahun 2014, jumlah penduduk tuna aksara di Indonesia yang tergolong masih tinggi terdapat di 11 provinsi, yaitu: (1) Papua sekitar 30,93% atau 615.977 orang; (2) Nusa Tenggara Barat sekitar 10,92% atau 314.435 orang; (3) Sulawesi Barat sekitar 7,96% atau 60.164 orang; (4) Sulawesi Selatan sekitar 7,37% atau 381.329 orang; (5) Nusa Tenggara Barat sekitar 7,21% atau 203.002 orang; (6) Jawa Timur sekitar 5,92% atau 1.481.646 orang; (7) Kalimantan Barat sekitar 5,76% atau 170.038 orang; (8) Bali sekitar 5,33% atau 140.628 orang; (9) Papua Barat sekitar 4,92% atau 26.280 orang; (10) Sulawesi Tenggara sekitar 4,60% atau 65.924 orang, dan Jawa Tengah sekitar 4,54% atau 960.905 orang. Ini menjadi "pekerjaan rumah" bagi pemerintah dan masyarakat.
Selain menuntaskan sisa penduduk tuna aksara di 11 provinsi tersebut, juga terdapat 25 kabupaten yang tergolong tinggi tuna aksaranya, yaitu di atas 50.000 orang yang perlu mendapatkan perhatian khusus.
Dalam rangkaian acara peringatan HAI tahun 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan sejumlah rangkaian kegiatan antara lain “talkshow” dengan nara sumber: Harris Iskandar (Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat), Erman Syamsuddin (Direktur Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan), Ardiansyah L. (Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah), dan Arief Rachman (Ketua Komisi Pendidikan Nasional untuk UNESCO).
Peringatan puncak acara HAI tahun 2016 tingkat nasional dilaksanakan di Palu, Sulawesi Tenggah pada tanggal 20 Oktober 2016. Pada kegiatan tersebut akan diselenggarakan berbagai kegiatan lomba dan pemberian penghargaan. Melalui kegiatan peringatan HAI tahun 2016 ini diharapkan program pendidikan keaksaraan dalam rangka penuntasan tuna aksara dan pemberdayaan masyarakat dapat berjalan dengan baik untuk membangun keadaban dan keunggulan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Sesuai Nawacita
Sesuai dengan semangat Nawacita, atau Sembilan Prioritas program pembangunan pemerintah, pengembangan pendidikan keaksaraan ke depan harus dikembangkan untuk memperkuat kemandirian secara ekonomi. Untuk itu, dikembangkan program Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM) dan Aksara Kewirausahaan sebagai kelanjutan dari Program Keaksaraan Dasar.
Program lanjutan tersebut dimaksudkan untuk melestarikan kemampuan keaksaraan dasar sekaligus memberikan pendidikan kecakapan hidup, baik soft skill berupa sikap dan karakter, maupun hard skill dalam bentuk keterampilan atau vokasional kepada setiap warga belajar atau peserta program pendidikan keaksaraan.
Lewat program lanjutan pasca keaksaraan dasar ini, banyak warga belajar yang akhirnya memiliki keterampilan dan mampu memiliki usaha baik secara pribadi maupun kelompok (Kelompok Belajar Usaha), sehingga hidupnya lebih sejahtera. Saat ini, lembaga penyelenggara program pendidikan keaksaraan seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP), memiliki unit usaha yang dikelola oleh alumni dari warga belajar pendidikan keaksaraan. Melalui program peningkatan keberaksaraan pasca keaksaraan dasar, tujuan dari program pendidikan keaksaraan dalam konteks pembangunan berkelanjutan dapat terlaksana menjangkau sejumlah target pembangunan berkelanjutan tersebut.
Secara ringkas, ke-17 SDGs tersebut adalah sebagai berikut: (1) mengurangi segala bentuk kemiskinan; (2) mengakhiri kelaparan dan mencapai ke tahanan pangan; (3) menjamin kesehatan yang baik dan kesejahteraan inklusif; (4) menjamin pendidikan yang inklusif dan berkualitas; (5) kesetaraan gender; (6) menjamin ketersediaan air bersih dan sanitasi; (7) ketersediaan energi dan terjangkau; (8) pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja yang layak; (9) membangun industri, inovasi dan infrastruktur yang inklusif; (10) mengurangi kesenjangan intra dan antar negara; (11) menjamin kota yang berkelanjutan dan inklusif; (12) menjamin pola konsumsi dan produksi secara bertanggung jawab; (13) memerangi perubahan iklim dan mengurangi dampaknya; (14) melestarikan kehidupan di bawah laut (samudera) secara berkelanjutan; (15) melindungi, mengembalikan keberlangsungan ekosistem darat; (16) mendorong masyarakat yang damai dan inklusif; (17) kemitraan dalam mencapai tujuan. (Eko & Jamhari)
Demikianlah mengenai peringatan hari aksara Internasional yang diadakan di Indonesia. Semoga cita-cita pemerintah untuk terus mencerdaskan generasi penerus bangsa dari Sabang hingga Merauke memang benar-benar dijalankan sebagaimana mestinya. Mengingat bangsa Indonesia perlu dan harus bangkit mengejar ketertinggalan semua aspek dari bangsa-bangsa lain. Jayalah Indonesiaku dan mari junjunglah bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Salam GuruNgapak!
Mantappp bang, sekarang sudah merata penggunaan bahasa Indobeaia tinggal melestarikan bahasa daerah..
ReplyDeleteBenar sekali mas Taufik, harus tetap melestarikan bahasa daerah masing-masing karena ada perbedaan itulah disana kita temukan Indonesia
ReplyDeletekalo belajar sejarah, kayaknya 1 bulan dlm kalender hmpir byk tanggal memiliki historitas ya mas. cuma kok jrng diperingati yaa, hari-hari besar aja sptnya..
ReplyDeletejika diperingati semua nanti kebanyakan libur mbak, hehe mungkin tanggal-tanggal yang memng benar-benar memiliki nilai sejarah yang berpengaruh besar untuk bangsa dan negara ini saja yang diperingati..
ReplyDelete