Pedoman Penilaian Lomba Bercerita

Guru Ngapak- Indonesia memiliki potensi yang besar menjadi negeri 1001 dongeng. Hal semacam ini dapat kita lihat dengan banyaknya cerita rakyat yang berkembang dari Sabang sampai Merauke. Cerita yang diwarskan turun temurun kepada generasi muda, supaya mereka tahu dan dapat mengambil intisari dari cerita rakyat yang berkembang di daerahnya atau luar daerahnya. Intisari yang dapat diambil dari cerita rakyat yakni memberikan pesan moral yang berupa pesan-pesan tersirat maupun tersurat, melangsungkan budaya mendongeng yang kian terkikis oleh kecanggihan teknologi, dan tentunya mewariskan cerita kepada generasi penerus agar cerita yang ada di suatu daerah tidak punah.

Upaya untuk melestarikan cerita rakyat kemudian diimplementasikan dengan adanya ajang bergengsi yang diselenggarakan oleh instansi pendidikan, atas intruksi yang diberikan mulai dari tingkat kecamatan, kabupaten, provinsi, dan tingkat nasional untuk mengirimkan putra putri terbaiknya guna mengikuti Lomba Bercerita. Tujuan Lomba bercerita ialah untuk, 1) membina bakat dari peserta didik, 2) meningkatkan minat baca anak, 3) menumbuhkan kecintaan akan budaya nasional, 4) memberikan wadah bagi peserta didik untuk berinovasi, berkreasi, dan menumbuh kembangkan sportifitas yang masuk juga dalam pendidikan karakter.

Adanya lomba bercerita yang diadakan setiap tahunnya oleh SD/MI, sangat membantu peserta didik menghidupkan budaya membaca. Karena budaya membaca dapat ditanamkan pada usia sekolah dasar yang tentunya didukung dengan dorongan dari orang tua, pendidik, dan perpustakaan sekolah. Seperti yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007 mengenai Perpustakaan yakni, Pembudayaan kegemaran membaca dilakukan melalui tiga jalur yaitu keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa cerita adalah tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal (peristiwa, kejadian, dan sebagainya), sedangkan pengertian bercerita pada KBBI ialah menuturkan cerita. Pengertian bercerita tersebut dapat disimpulkan bahawa adanya suatu seni mengenai bagaimana seseorang bercerita, seni ini meliputi pembawaan, diksi, teknik, gaya bahasa dan lainnya. Lebih jelasnya simak dan cermati pedoman penilaian lomba bercerita berikut.

Lomba bercerita secara garis besar berpedoman pada Pedoman Penilaian Lomba Bercerita. Pedoman itu dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Penampilan, lebih ditekankan kepada penampilan peserta apakah ia tampil dengan santai/wajar, penuh percaya diri, meyakinkan dan mantap.

2. Cara bercerita/Teknik Bercerita, para peserta hendaknya memulai atau mengakhiri penampilan dirinya dengan memperhatikan hal-hal seperti : volume suara, artikulasi, diksi, tempo dan kecepatan serta proyeksi.

3. Penguasaan Panggung

4. Penguasaan Materi, peserta harus menguasai isi cerita dan menghayati cerita yang dibawakan, juga harus melakukan improvisasi maupun penyesuaian fantasi dan imajinasi dalam berintegrasi dengan materi cerita yang dibawakan.

Jika diperdalam mengenai pedoman penilaian lomba bercerita tersebut dapat dijabarkan yakni:
poin pertama, mengenai penampilan. Semua unsur mengenai penampilan ini untuk diperhatikan, bagaimana peserta membawakan ceritanya.
a) Pembawaannya santai atau tidak.
Maksud dari pada santai disini adalah tidak terburu-buru dalam membawakan cerita. Hal yang harus diingat ialah peserta tidak membawakan cerita untuk diri sendiri, namun untuk orang lain yakni para juri dan para penikmat cerita tersebut. Jika pembawaanya saja sudah tergesa-gesa, sangat dipastikan pembawaanya tidak akan menarik, juga jalannya cerita tidak jelas karena peserta terburu-buru dalam membawakan sebuah cerita. Namun, bukan berarti peserta harus pelan-pelan dalam membawakannya, harus mengingat waktu yang telah ditentukan. Cepat jangan terlalu cepat, pelan jangan terlalu pelan dalam arti lain ya Sewajarnya.

b). Peserta lomba hendaknya percaya diri. Membutuhkan tingkat percaya diri yang tinggi, agar pembawaan cerita dapat lebih dinikmati oleh para penikmatnya. Tampillah dengan percaya didi dan percaya pada kemampuan kita, toh kita sudah berusaha dengan para mentor kita yakni guru-guru kita, tampil dengan percaya diri membawa banyak keuntungan.

c). Peserta harus meyakinkan. Meyakinkan disini berarti bahwa peserta harus yakin dengan kemampuan diri sendiri, yakin dengan pembawaan karakter masing-masing tokoh yang ada dalam cerita yang dibawakan. Apabila hal tersebut dilaksanakan dan tertanam keyakinan dalam peserta maka peserta akan terkesan luwes dalam bercerita, terlihat mantap dan menikmati pembawaan dirinya sebagai orang yang sedang memberikan cerita kepada orang lain.

Poin kedua, Mengenai cara atau teknik bercerita, penjelasannya ialah: 
a). Volume Suara. Volume suara peserta lomba harus mengikuti cerita, misalkan saat suasana cerita sedih suaranya dilembutkan sedikit, jangan cerita sedih kita teriak-teriak, cerita semangat kita membawakannya dengan volume yang membuat orang lain tergugah dengan suara dan pembawaan kita. Aturlah tinggi rendahnya suara mengikuti suasana cerita dan usahakan lantang dan tegas sehingga para penonton dapat dengan jelas mendengar apa yang kita ceritakan.

b). Artikulasi atau pengucapan kata.  maksudnya adalah peserta lomba bercerita harus benar-benar benar dan gamlang dalam artikulasi setiap kata. Tujuannya agar apa yang peserta ucapkan dapat diterima dengan jelas setiap kata yang diucapkannya, usahakan huruf-huruf dilafalkan dengan benar, dan jelas.

c). Diksi atau pilihan kata. Peserta lomba bercerita harus menggunakan diksi yang bersifat jelas atau memilih cerita yang menggunakan bahasa yang sesuai dengan para pendengar. Diksi sangat menentukan bagi peserta, karena dengan diksi atau pilihan kata yang tepat dan sesuai maka isi cerita dapat dengan mudah diterima dan dimengerti oleh para audien. Hindari pilihan kata-kata yang tidak familiar ditelinga.

d). Tempo. Tempo bercerita hendaknya disesuaikan dengan durasi yang telah ditentukan oleh juri. jangan sampai memilih cerita yang panjang namun durasi bercerita hanya 15 menit hal ini tidak cocok, maka gunakan tempo cerita yang sesuai dengan waktu yang telah ditentukan panitia. Tempo dalam hal pembawaan juga harus diperhatikan, bagaimana kita mengemas cerita harus tahu waktu, maksudnya peserta harus dengan jeli memperkirakan waktu, jangan karena keasikan dan terlalu percaya diri dan semangat tempo bercerita menjadi lebih cepat, cerita yang seharusnya dibawakan dengan tempo standar membutuhkan waktu 30 menit, karena keasikan dan lainnya tempo cerita menjadi 10 atau 15 menit.

Poin ketiga,  Penguasaan Panggung. Peserta lomba bercerita dihimbau agar memanfaatkan panggung yang telah disediakan oleh panitia, jangan sampai peserta hanya berdiri disatu tempat saja. Peserta juga harus peka terhadap panggung, mereka harus menguasai panggung, mungkin sesekali berjalan, berlari, merangkak (tergantung bagaimana kejadian yang ada dalam cerita )

Poin keempat, mengenai penguasaan materi.
a) menguasai isi dan menghayati cerita. Inti dari lomba cerita ini yaitu pada poin ini, yakni peserta wajib menguasai isi dan menghayati isi cerita sesuai dengan apa yang diceritakan. Jika peserta sudah menguasai dan menghayati maka dalam proses bercerita peserta akan merasa rileks dan mudah untuk membawakan serta mudah dalam menghayati cerita. Dampaknya peserta akan maksimal dalam membawakan suatu cerita.

b). Penyesuaian imajinasi dan fantasi. Setelah peserta memahami isi dan menguasai isi cerita, peserta lomba bercerita mudah dalam menyesuaikan imajinasi dan membuat nyata fantasi sesuai dengan ceritanya. misalkan cerita yang dibawakan adalah Asal mula huruf jawa maka fantasinya adalah bagaimana awal mula huruf jawa itu, maka pembawa cerita akan memfantasikan dan mengimajinasikan supaya apa yang dia ceritakan lebih mudah ditangkap isinya oleh para penonton. 

Berikut disajikan contoh naskah untuk lomba bercerita.

Legenda Gatot Kaca
 
Alkisah dalam pengasingannya selama dua belas tahun Pandawa sempat mengembara sampai di sekitar Pegunungan Dieng. 
 
Dua belas tahun bukan waktu yang singkat untuk berputar-putar hanya di sekeliling India. Bhima dapat menaklukkan Raja Raksasa Harimba, penguasa hutan di pusat pulau Jawa.

Adik sang raja, Harimbi jatuh cinta kepada Bhima, ksatria tinggi besar kuat berotot layaknya raksasa tetapi gagah penampilannya, tidak seperti raksasa yang rewo-rewo.

Harimbi adalah raksasa wanita, akan tetapi hatinya sudah lembut, evolusi jiwanya mendahului penampilannya.

Dewi Kunti, ibu Bhima yang waskita memahami wanita yang cocok sebagai pendampingi sang putra, maka dia ‘memoles’ Harimbi dengan ‘operasi plastik zaman kuna’ menjadi wanita yang cantik, sehingga Bhima jatuh cinta. Dewi Kunti mendapatkan banyak ilmu dari Resi Durwasa, termasuk ilmu mendatangkan Dewa dan mempercantik wanita.

Dewi Kunti juga ingat nasehat dari keponakannya, Prabu Kresna untuk menggunakan perkawinan sebagai pengikat persaudaraan. Sehingga seluruh Nusantara akan mendukung Koalisi Pandawa dalam berperang melawan Koalisi Korawa.

Gatotkaca mempunyai benih bawaan unggul kombinasi dari Bhima dan Harimbi. Sebagai raja muda di Pringgadani, Gatotkaca dalam Wayang Kulit
Purwa digambarkan berujud raksasa, lengkap dengan taringnya. Namun sejak Susuhunan Paku Buwana II memerintah Kartasura, penampilan peraga wayang Gatotkaca dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa diubah menjadi ksatria tampan

dan gagah, dengan wajah mirip Bima. Penampilan Gatotkaca yang khas adalah kumisnya yang lebat, sehingga di Jawa seseorang yang berkumis lebat dipuji sebagai ‘keren’ bak Gatotkaca. Banyak nama Gatot di Jawa, karena orang tua sang anak berharap puteranya menjadi pahlawan Nusantara. Di tahun enampuluhan seorang anak yang melakukan sunatan sering diberi pakaian Gatotkaca dengan topi wayang, baju kotang bergambar bintang delapan, memakai badong, semacam hiasan punggung dan tentu saja kumis hitam dari bubuk arang.

Konon nama Kali Serayu sendiri berasal dari Sir Ayu, cinta kepada wanita ayu yaitu cintanya Bhima kepada Harimbi. Mata Air Kali Serayu berasal dari daerah sekitar Wonosobo yang bernama Tuk Bimo Lukar, Mata Air Bhima Lepas Pakaian. Arca Kunto Bimo bahkan ditempatkan di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang sebagai tanda bahwa Raja pembangun Candi Borobudur yang beragama Buddha pun menghormati Bhima, idola masyarakat setempat. Arca Bimo atau Kunto Bimo menggambarkan Bhima duduk bersila dengan sikap tangan dharmacakramudra.

Ini isyarat pergerakan roda dharma. Bhima dalam perjalanan spiritualnya di Samudera Hindia menemukan jati dirinya setelah bertemu Dewa Ruci yang lidahnya berupa Acyntia, Yang Tak Dapat Diserupakan, kemudian dirinya digambarkan berada di dalam stupa dan telah mencapai ke-Buddha-an. Setiap ada kunjungan tamu negara, selalu ada acara merogoh stupa Kunto Bimo. Merogoh Kunto Bimo bahkan dianggap sebagai kepercayaan dalam tradisi setempat. Jika wanita berhasil menyentuh jempol kaki patung Buddha, atau pria menyentuh kelingking patung Buddha, maka keinginannya akan terkabul.

Di dataran tinggi Dieng terdapat Candi Bhima, Candi Arjuna dan Candi Gatotkaca, selain juga ada Candi Semar. Juga terdapat Kawah Candradimuka, konon kawah tempat Gatotkaca digembleng menjadi ksatria perkasa. Terdapat juga legenda masyarakat sekitar Banyumas, bahwa kaum Korawa selalu memata-matai kegiatan Pandawa dalam pengasingannya. Dalam salah satu perkelahian mereka kemudian berlomba membuat kali sudetan ke Samudera Hindia. Bhima dengan kuku pancanakanya yang seakan menjadi kapal keruk berhasil menang menyudet kali dari pusar tanah Jawa ke Samudera Hindia melalui daerah Banyumas dan Cilacap. Sedangkan Korawa salah arah sehingga sungai yang digalinya malah bermuara di kali buatan Pandawa. Oleh Resi Bhisma kali Pandawa di sebut Serayu sedangkan kali Kurawa disebut Klawing. Tempat Bhima melepas pakaian bekerja bakti disebut Tuk Bimo Lukar.

Kelahiran Gatotkaca


Kelahiran Gatotkaca menimbulkan kejadian yang menggemparkan. Tali pusarnya tidak dapat diputus dengan berbagai macam senjata keris dan panah. Alkisah Arjuna dan Karna sedang bertapa di tempat berbeda untuk mendapatkan senjata sakti sebagai persiapan perang di kemudian hari. Bathara Narada pembawa karunia senjata panah Kuntawijayadanu pun sulit membedakan kedua satria putra Dewi Kunthi tersebut. Dewa Surya memberi penerangan kepada tempat Karna bertapa, sehingga Narada memberikan senjata tersebut kepada Karna. Akan tetapi karena dia melihat tersirat semacam ketidak baikan dalam diri Karna, maka dia hanya memberikan Panahnya, sedangkan Sarungnya diberikan kepada Arjuna yang bertapa di tempat lain. Dengan berbekal sarung senjata Kuntawijayadanu tersebut, Arjuna memotong tali pusar Gatotkaca, akan tetapi sarung tersebut hilang masuk ke dalam diri Gatotkaca, sehingga Bayi Gatotkaca menjadi sakti. Setelah dewasa Gatotkaca tidak lupa kepada kebaikan sang paman, Arjuna dan pada hari ke lima belas perang Bharatayuda, dia mengorbankan diri untuk melenyapkan senjata Karna, agar pamannya dapat memenangkan pertarungan.

Setelah tali pusarnya putus, Gatotkaca dibawa Bathara Narada ke kahyangan untuk melawan Raksasa Kala Sakipu dan Kala Pracona. Karena Gatotkaca telah menyatu dengan sarung Kuntawijayadanu, maka Bayi Gatotkaca tidak dapat dibunuh mereka bahkan sempat menggigit mereka sehingga kedua raksasa itu mati.
Oleh Bathara Guru, Gatotkaca diberi tiga karunia. Karunia pertama adalah “Kotang Antakusuma” yang membuat Gatotkaca dapat terbang dengan cepat. Karunia kedua adalah topi bernama “Caping Basunanda”, yang mempunyai kesaktian apabila kena panas tidak terasa panas dan apabila kena hujan tidak menjadi basah. Karunia ketiga, berupa sepatu “Pada Kacarma” yang mempunyai kesaktian tidak akan terkena pengaruh dari suatu tempat.

Cinta membuat Gatotkaca lalai


Ketika menginjak dewasa Gatotkaca jatuh cinta pada Dewi Pergiwa, puteri dari Arjuna dan adik dari Abimanyu. Gatotkaca adalah seorang tokoh yang tahu balas budi. Karena Arjuna yang dapat memotong tali pusarnya kala dia masih bayi, maka dia selalu menghormati keluarga Arjuna, pamannya sendiri.
Sejak kecil Gatotkaca dirawat Arya Kalabendana, adik ibunya yang paling kecil. Kalabendana yang berwujud raksasa kunthing, cebol mempunyai karakter sangat jujur, setia, suka berterus terang dan tidak bisa menyimpan rahasia. Dia sangat mencintai Gatotkaca keponakannya. Pada suatu hari, Gatotkaca bepergian bersama Abimanyu, sedangkan Dewi Siti Sundari putri Prabu Kresna yang menjadi istri Abimanyu ditinggalkan bersama Arya Kalabendana. Karena perginya berhari-hari tidak kembali, Dewi Siti Sundari meminta Arya Kalabendana mencari mereka. Dengan membaui keringat keponakannya Gatotkaca, Arya Kalabendana dapat menemukan Abimayu dan Gatotkaca yang sedang berada di kerajaan Wirata. Abimanyu sedang berkasih mesra berselingkuh dengan Dewi Utari. Begitu melihat hal tersebut, Arya Kalabendana berteriak, agar Gatotkaca dan Abimanyu cepat pulang, Dewi Siti Sundari di rumah amat cemas karena mereka belum pulang.

Dewi Utari, paham kalau Abimanyu sudah punya istri, dan sangat kecewa karena telah mengelabui dirinya. Dewi Utari memberikan laknat sumpah bahwa besok dalam perang Bharatayuda Abimanyu akan mati mendapatkan luka arang kranjang, banyak luka bersamaan pada tubuhnya. Gatotkaca marah dan menampar Arya Kalabendana, dan tanpa sadar tangan dengan kesaktian Bajramusti, Vajra Shakti, Tangan Geledek nya langsung mematikan pamannya. Sebelum meninggal, mata Arya Kalabendana berair, berkata lirih, “Dalam perang Bharatayuda kamu pun akan terbunuh oleh pamanmu sendiri”. Gatotkaca menyesal, akan tetapi dia menyadari bahwa seserorang yang menanam benih, pada waktunya tentu akan memanen hasilnya. Gatotkaca sadar paman yang dimaksudkan arya Kalabendana adalah Adipati Karna, putera Eyang Putri Dewi Kunti lain kakek.

Alam kembali menorehkan catatannya, tidak ada hal baru di dunia ini. Catatan lama berulang dengan berganti “setting”. Delapan ribuan tahun sebelumnya dalam zaman Prabu Arjuna Sasrabahu, Raden Sumantri tanpa sengaja membunuh adiknya Raden Sukrasana yang amat sayang kepadanya, sehingga dia pun mati di tangan Rahwana. Kali ini, Gatotkaca tanpa sengaja membunuh pamannya yang sangat sayang kepadanya, dan dia pun akan mati dalam perang Bharatayuda oleh Adipati Karna. Bukan secara kebetulan , kalau gambaran Raden Sukrasana dan Arya Kalabendana tidak banyak berbeda, seorang raksasa cebol dengan lidah celat sakti dan penuh kasih sayang. Jangan menyepelekan orang yang berjasa walau bagaimanapun penampilannya.

Pahlawan dalam perang Bharatayuda

Bagi Raden Gatotkaca: “Bagiku dharma-ku adalah sebagai perajurit untuk maju berperang, sangha-ku adalah Pandawa, persaudaraan pembela kebenaran, Kendra-ku, pusat tujuanku adalah Prabu Kresna”.

Dalam perang Baratayuda Gatotkaca diangkat menjadi senapati dan gugur pada hari ke-15 oleh senjata Kuntawijayadanu yang dipanahkan oleh Adipati Karna. Senjata Kunta Wijayadanu itu melesat menembus perut Gatotkaca melalui pusarnya dan masuk ke dalam sarungnya yang menyatu di perut Gatotkaca. Saat berhadapan dengan Adipati Karna sebenarnya Gatotkaca sudah tahu akan bahaya yang akan mengancam jiwanya. Dia ingat hutang nyawanya terhadap pamannya yang akan segera dilunasinya. Ketika Adipati Karna memanahkan senjata Kuntawijayadanu, dia terbang amat tinggi. Namun senjata sakti itu terus saja memburunya, bak peluru kendali, seakan dibantu ruh paman Kalabendana yang pernah dizaliminya, sehingga akhirnya Gatotkaca gugur. Gatotkaca ingat pelajaran dari Kumbakarna yang sebelum matipun perlu memusnahkan musuhnya sebanyak mungkin. Ketika jatuh ke bumi, Gatotkaca berusaha agar jatuh epat pada tubuh Adipati Karna, tetapi senapati Kurawa itu waspada dan cepat melompat menghindar sehingga kereta perangnya hancur berkeping-keping dan semua senjata yang berada di dalam keretanya meledak dan membunuh banyak pasukan Kurawa.

Sebenarnya, sewaktu berhadapan dengan Gatotkaca, Adipati Karna enggan menggunakan senjata Kuntawijayadanu. Ia merencanakan hanya akan menggunakan senjata sakti itu bila berhadapan dengan Arjuna. Namun ketika Raja Duryudana menyaksikan betapa Gatotkaca telah menimbulkan banyak korban dan kerusakan di pihak Kurawa, ia mendesak agar Karna menggunakan senjata pamungkas itu. Hal itu tidak lepas dari strategi Prabu Kresna untuk melenyapkan Senjata Kuntawijayadanu yang hanya dapat digunakan sekali saja, sehingga Arjuna dapat memenangkan pertempuran.

Pada waktu perang Bharatayuda, Gatotkaca sudah mempunyai tingkat spiritual yang tinggi akibat didikan Harimbi dan Bhima serta ajaran dari Prabu Kresna. Gatotkaca sudah sadar bahwa sebagai abdi, sebagai hamba, yang yakin akan keilahian Prabu Kresna, maka dia wajib patuh terhadap apapun perintah Kendra-nya, Prabu Kresna. Di Nusantara, Gatotkaca sudah mendapat pelajaran dari ibunya tentang bagaimana Raden Sumantri melakukan bakti kepada seorang PrabuArjuna Sasrabahu titisan Batara Wisnu. Kini dia akan mengulanginya kepada Prabu Kresna, titisan Batara Wisnu juga. Bagi seorang abdi atau hamba hanya ada one pointedness, eka grata, satu fokus sehingga dia bekerja tanpa pamrih pribadi lagi. Dalam “bahasa musik karawitan”, seluruh niyaga, penabuh gamelan dengan berbagai alat musiknya wajib patuh mengikuti alunan suara Sang Pembawa Vokal dalam irama yang harmoni. Para perwira, para menteri yang patuh dengan komandan sangat diperlukan dalam mempertahankan kewibawaan suatu negara. Gatotkaca ingat nasehat para leluhurnya di Nusantara yang berpesan bahwa setiap warga harus: “Melu handarbeni, melu hangrungkebi, mulat sariro hangroso wani”terhadap negaranya. Nasehat leluhur tersebut dirumuskan secara resmi oleh Sri Mangkunagara I setelah 5.000 tahun kemudian. Setiap warga harus bertanggung jawab: merasa memiliki, membela dengan penuh pengorbanan, serta mengadakan intropeksi terhadap tindakan bangsanya. Bangsa Indonesia dapat dikatakan mempunyai genetik bawaan Gatotkaca yang diwariskan secara turun-temurun.

Dalam Bhagawad Gita Percakapan Ketiga, Karma Yoga, Prabu Kresna bersabda: “Alam ini memberi apa yang kau inginkan sebagai pengganti persembahanmu. Tetapi bagi yang menikmati pemberian alam tanpa mengembalikan sesuatu, akan dipertimbangkan sebagi seorang pencuri. Ia yang berkarya dengan semangat persembahan menikmati hasilnya, dengan cara demikian ia terbebaskan dari semua kejahatan. Mereka yang mementingkan diri sendiri, dengan cara demikian mereka memperoleh ketakmurnian”. Pelajaran Prabu Kresna kepada paman Arjuna tersebut tiba-tiba meresap ke dalam hati Gatotkaca. Aku harus tidak mementingkan diri sendiri, aku putra Bhima dari Pandawa, aku juga harus tahu balas budi kepada Paman Arjuna yang memotong tali pusarku dan aku harus tunduk kepada Prabu Kresna, titisan Wisnu.

Keteladanan Gatotkaca

Para leluhur kita mempunyai figur-figur keteladanan, yang menjadi inspirasi bagi generasi muda dalam berjuang membela negara dengan pengorbanan jiwa dan raganya.
Selanjutnya diperlukan tumbuhnya suatu kesadaran dalam diri bahwa hidup ini hanya bersifat sementara, ada awal yang diikuti pertumbuhan, kemudian proses penuaan dan akhirnya mati. Mencari kebahagiaan abadi dengan pamrih atau motivasi di luar diri kurang tepat, karena kebahagiaan abadi hanya terdapat pada sesuatu yang abadi. Semua yang ada di alam ini mempunyai awal dan mempunyai akhir sehingga bersifat tidak abadi. Yang abadi hanya Dia yang bersemayam didalam dan di luar diri. Menyatukan niat, pikiran, ucapan dan tindakan dengan Dia menimbulkan kebahagian murni. Apa pun yang terjadi di dunia ini terkena hukum sebab-akibat. Hanya menyatu dengan Dia, yang dapat melampaui hukum sebab-akibat. Alam telah memberikan teladan nyata dalam bertindak altruistis, penuh kasih, tidak membeda-bedakan dan hanya bertindak sesuai dengan kodrat yang ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa.

Pendidikan budi pekerti memegang peranan penting dalam pembentukan karakter di dalam diri, agar manusia hidup menggunakan hati nurani dan dapat mengalahkan egonya. Sudah saatnya kita bangkit, DNA Gatotkaca, Leluhur Sriwijaya dan Majapahit masih mengalir dalam diri kita. Para founding fathers sudah lama menunggu kebangkitan kita. Bangkit para Gatotkaca Nusantara. Bangkitlah! Hidup adalah sebuah perjuangan. Berjuanglah terus-menerus demi penegakan dharma, demi hancurnya adharma. Kita tidak di sini untuk saling jarah-menjarah, atau saling rampas-merampas. Kita tidak mewarisi budaya kekerasan dan barbar seperti itu. Jangan berjuang untuk tujuan-tujuan kecil yang tidak berguna. Jangan berjuang untuk memperoleh kursi yang dalam beberapa tahun saja menjadi kadaluarsa. Jangan berjuang untuk memperoleh suara yang tidak cerdas.

Berjuanglah untuk tujuan besar untuk sesuatu yang mulia. Berjuanglah untuk memperoleh tempat di hati manusia, ya manusia, bukan di hati raksasa. Berjuanglah untuk mencerdaskan sesama anak manusia, supaya mereka memahami arti suara mereka, supaya mereka dapat menggunakan hak suara mereka sesuai dengan tuntutan dharma. Perjuangan kita adalah perjuangan sepanjang hidup. Perjuangan kita adalah perjuangan abadi untuk melayani manusia, bumi ini dengan seluruh isinya, bahkan alam semesta. Janganlah mengharapkan pujian dari siapa pun jua. Janganlah menjadikan pujian sebagai pemicu untuk berkarya lebih lanjut. Berkaryalah terus menerus walau dicaci, dimaki, ditolak…….. Berkaryalah karena keyakinan pada apa yang mesti kita kerjakan. (Buku Be the Change karya Bapak Anand Krishna)

Demikian mengenai Pedoman Penilaian Lomba bercerita, semoga dapat dijadikan tambahan dalam mempersiapkan lomba bercerita. Harapannya agar peserta dapat menjadi juara dan mewakili sekolahnya sampai tingkat Nasional. Semoga bermanfaat. 

Salam Guru Ngapak.

Baca Juga:

Silahkan masukan e-mail Anda sekarang, untuk mendapatkan update artikel terbaru (Gratis!):

Delivered by FeedBurner

4 Responses to "Pedoman Penilaian Lomba Bercerita"

  1. wah ini nih mas kalo penguasaan panggung saat lomba itu sulit. belum lagi penguasaan materi. juri paling tau bisa menilai nih kalo peserta yg begitu :D haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak, kadang karena kurang PD peserta cenderung diam tanpa beranjak dr tempat semula, iya bener mbak penguasaan materi paling keliatan, kl semuanya bagus tp penguasaannya kurang ya fatal juga mbk..hehe

      Delete
  2. Baru-baru ini ngikutkan lomba anak-anaknya. Konsepnya kombinasi dalang dan bercerita bebas. Jadi ada media seperti wayang dan ada posisi duduknya ketika mendalang. Namun setelah selesai penjurian, dalam sesi evaluasi posisi itu dikritik. Apa memang ada aturan bercerita tidak boleh sambil duduk?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dlam penilaian lomba bercerita tentunya poisi dan segala tingkah laku peserta menyesuaikan dengan karakter dan jalannya cerita, terkait hal di atas mengenai posisi duduk yang dikritik, tentunya ada alasan dari dewan juri, alasan itu tentunya diberikan sebagai arahan atau bimbingan kenapa dikritik, mungkin membelakangi penonton/juri saat memainkan wayang atau alasan yang lain. Dari gambaran secara umum sebenarnya hal itu sah-sah saja dalam arti tidak membelakangi penonton/dewan juri, bisa disiasati penataan media wayang yang dibuat agak serong (jangan membelakangi penonton).

      Delete

Terimakasih sudah bersedia berkunjung. Semoga bermanfaat. Silahkan tulis komentar anda di papan komentar. Komentar anda sangat bermanfaat untuk kemajuan artikel-artikel selanjutnya.