Rawa Pening merupakan sebuah rawa yang terletak di
Ambarawa. Rawa ini memiliki cerita yang turun temurun diwariskan kepada
generasi penerus. Bagaimana kisahnya. Berikut Legenda Rawa Pening.
Jaman dahulu, rakyat kampung Ngebel terkejut melihat
seekor ular besar yang sangat panjang. Karena khawatir ular itu akan menggigit
mereka, rakyat kampung itu beramai-ramai meringkus ular yang diberi nama Baru
Klinting. Sesudah diringkus ular itu kemudian dibantai dan dagingnya dijadikan
santapan didalam sebuah pesta. Hanya ada satu orang di kampung itu yang tidak mereka
ajak menikmati pesta itu, dia adalah seorang nenek tua miskin yang bernama Nyai
Latung.
Setelah pesta tersebut datanglah seorang bocah laki-laki
yang berumur sekitar sepuluh tahun. Bocah laki-laki itu terlihat sangat dekil
dan tidak terawat, sehingga kulit tubuhnya ditumbuhi penyakit. Bocah itu
menghampiri setiap rumah dan meminta makan kepada rakyat kampung. Tetapi tak
satu orang pun yang memberikan makan dan minum. Mereka membenci bocah
tersebut,menghinanya kemudian mengusirnya dari kampung tersebut.
Dan akhirnya bocah tersebut sampai di rumah yang
terakhir, yaitu rumah Nyai Latung. Nyai Latung yang sedang duduk di depan
rumahnya yang reot sambil menumbuk padi dengan lesung.
“Nyai,” bocah itu berkata, “Saya haus. Bolehkah saya
meminta air, nyai?”
Kemudian nyai Latung mengambilkan segelas air untuk
diminum oleh bocah itu dengan sangat dahaga bocah laki-laki itu meminumnya.
Nyai Latung melihat bocah itu dengan kasihan.
“Kamu mau minum lagi? Kau mau makan juga? Tapi nyai hanya
punya nasi, nggak ada lauk.”
“Mau, nyai. Nasi pun sudah cukup buat saya. Karna saya
sangat lapar,” jawab bocah itu.
Segeralah Nyai Latung mengambil nasi dan sisa sayur yang
ada. Dan tidak lupa diambilkannya lagi air minum, Bocah itu memakan makanan
tersebut dengan sangat lahap, sehingga tidak ada sedikitpun nasi yang tersisa.
“Namamu siapa, nak? Ayah dan Ibumu dimana?”
“Baru Klinting namaku. Ayah dan ibu sudah tidak ada.”
“Kau tinggal saja di sini menemani nyai,”
“Terima kasih, nyai. Tapi saya ingin pergi saja. Di sini
rakyat-rakyatnya jahat, nyai. Cuma nyai saja yang baik hati kepadaku.”
Kemudian Baru Klinting pun mencerita tentang rakyat
kampung yang tidak ramah padanya. Setelah itu Baru Klinting pun pamit. Sebelum
pergi, Baru Klinting memberikan pesan kepada Nyai Latung.
“Nyai, suatu ketika terdengar suara kentongan, naiklah ke
atas lesung. Dan nyai pun akan selamat.”
Meskipun tidak mengerti maksud Baru Klinting, Nyai Latung
mengiyakan saja.
Baru Klinting masuk ke kampung lagi. Dan menghampiri
beberapa anak-anak yang sedang bermain. Sebelum memanggil anak-anak yang sedang
bermain, Baru Klinting mengambil sebatang lidi kemudian menancapkannya di
tanah.
“Ayo... siapa yang dapat mencabut lidi ini?”
Ejekan pun keluar dari anak-anak tersebut kepada Baru
Klinting, namun tak ada satupun yang berhasil mencabut lidi itu. Sehingga
mereka pun memanggil anak-anak yang lebih gede. Semuanya pun akhirnya mencoba,
tetapi semua gagal. Sampai orang-orang tua pun tak ada yang bisa mencabut lidi
itu.
Akhirnya Baru Klinting sendirilah yang mencabut lidi itu.
Dan ketika Baru Klinting mencabut lidi itu dari tanah, maka memancarlah air
dari lubang bekas menancapnya lidi tersebut. Air yang memancar semakin lama
semakin banyak dan semakin deras. Orang-orang kampung berlarian kalang kabut,
Ada salah seorang rakyat membunyikan kentongan sebagai tanda bahaya. Tapi air
terlalu cepat keluar sehingga menjadi banjir dan seluruh kampung menjadi
terendam.
Dari kejauhan Nyai Latung pun mendengar suara kentongan,
Naiklah Nyai Latung dengan segera ke atas lesung ketika mengingat pesan dari
Baru Klinting. Ketika baru saja ia duduk di dalam lesung, air bah telah tiba
dan semakin tinggi yang akhirnya menenggelamkan rakyat-rakyat di kampung
tersebut ketika lesung itu sendiri masih terapung-apung.
Hari terus berganti dan akhirnya air itu perlahan-lahan
mulai surut. Lesung Nyai Latung yang sebelumnya terapung-apung akhirnya menepi
sehingga ia dapat naik ke darat. Ia satu-satunya warga yang selamat dari
banjir.
Meskipun banjir telah pergi tetapi genangan air masih
tersisa sehingga terjadi danau yang dinamakan Rawa Pening. Danau yang terbentuk
ini berada diwilayah Ambarawa.
Demikian Legenda Rawa Pening. Semoga dapat melestarikan cerita rakyat yang lain. Salam Guru Ngapak!
Baca Juga :
1. Timun Emas
0 Response to "Legenda Rawa Pening Ambarawa"
Post a Comment
Terimakasih sudah bersedia berkunjung. Semoga bermanfaat. Silahkan tulis komentar anda di papan komentar. Komentar anda sangat bermanfaat untuk kemajuan artikel-artikel selanjutnya.